the Legenda Muramasa dan Masamune


Hari itu mungkin hari yang tak akan terlupakan untuk dia. Hari di mana dia akan merubah total salah satu falsafah hidupnya, “Samurai maupun Pembuat pedang adalah sama, mereka adalah pembunuh.” Suatu falsafah hidup yang sangat tak lazim dimiliki oleh orang yang bertempat tinggal di provinsi Sagami. Provinsi di mana para penduduknya sangat tergila-gila pada pedang. Penduduk yang sangat mengerti akan pentingnya keindahan bentuk suatu pedang. Maklum saja, di sana memang tinggal salah seorang Pembuat pedang terbaik di Jepang.

Suasana di Jepang sendiri sangat kacau saat itu. Tentara Mongol telah menyerang mereka dua kali. Serangan itu sendiri telah mengakibatkan kerusakan yang cukup parah di bagian utara dari pulau Kyushu. Hal ini memicu pemerintah Jepang untuk mempersiapkan pasukan Samurai. Mereka dibekali pemerintah Jepang dengan baju dan topi baja. Mereka pun mencari-cari tachi (yang biasa kita sebut dengan pedang) karya Pembuat pedang. Hal inilah yang membimbing pada kebutuhan pembuatan pedang panjang yang indah dan hebat pada era ini. Karena itulah orang-orang mulai mempersiapkan diri untuk menjadi seorang samurai.

Semua orangkah? Tidak! Tidak semuanya! Hiromitsu sama sekali tak ingin menjadi seorang samurai. Hiromitsu bahkan sangat membenci pedang. Tak pernah terbersit sedikit pun dalam pikirannya untuk menjadi seorang samurai bahkan untuk menyentuh pedang seklai pun. Apa yang dilakukannya hanyalah berdagang. Suatu pekerjaan yang justru tak lazim dilakukan di masa ini. Namun, Hiromitsu sama sekali tidak peduli.

Hiromitsu adalah seorang pemuda yang berpenampilan kurus dan agak semerawut. Dalam kesehariannya, dia hampir selalu mengenakan Suo (sejenis nama kimono) yang bagus. Bisa jadi ini berhubungan dengan barang yang dia dagangkan. Dia memang berdagang pakaian. Rata-rata yang dia dagangkan adalah suikan (pakaian untuk samurai). Setidaknya hal inilah yang dia sukai dari banyaknya samurai di Sagami. Dagangannya memang laku keras di wilayah ini.

Bagi Hiromitsu pedang itu adalah tajam. Dan tajamnya dapat melukai siapa saja yang menyentuhnya. Hiromitsu sangat membenci peperangan. Hiromitsu tak mau melukai siapa pun. Karena itulah Hiromitsu tak mau menjadi seorang samurai. Hiromitsu pun tak mau menjadi seorang Pembuat pedang. Dia pun tak peduli akan keberadaan beberapa Pembuat pedang hebat yang bermukim dekat tempat tinggalnya.

Namanya Masamune Okazaki. Atau, bisa juga kau sebut Goro Nyudo Masamune (pendeta Goro Masamune). Dia adalah Pembuat pedang termahsyur saat itu. Ada yang mengatakan kalau Masamune membuat pedang yang terbuat dari baja dengan 4,194,304 lapis. Suatu angka yang sangat mencengangkan tentunya. “Siapa peduli?” Mungkin itulah yang akan dikatakan Hiromitsu saat mengetahuinya.

Hal itu itu bukanlah hal yang luar biasa bagi Hiromitsu. Bagi dia, Masamune hanyalah seorang pembunuh. Masamune telah membuat pedang yang akan digunakan untuk saling membunuh. Bagi dia Masamune, maupun Pembuat pedang lainnya, bukanlah seseorang yang patut dihormati.

“Kau tahu kan kalau nanti akan ada suatu pertunjukan yang hebat! Muramasa akan menantang Masamune!” Tak bisa dibayangkan bagaimana kalau mereka saling unjuk kebolehan.” Ucap Akihiro, sahabat Hiromitsu, saat datang membeli dagangan Hiromitsu.

Akihiro bertubuh cukup besar. Setidaknya lebih besar daripada Hiromitsu. Dalam kesehariannya dia mengenakan ki nagashi (pakaian kimono santai sehari-hari) biru tua. Sepertinya, dia memang hanya mempunyai warna itu di rumahnya. Dia adalah teman kecil dari Hiromitsu. Mereka selalu bermain bersama. Bagi Hiromitsu sendiri Akihiro lebih dari sekedar teman. “Akihiro adalah saudaraku” Begitulah Akihiro di mata Yosimitsu. Persahabatan yang terjalin sejak kecil telah membuat mereka memiliki suatu ikatan batin. Mereka saling mengerti satu sama lain. Mengerti satu sama lainkah? Sepertinya Samurai dan Pembuat pedang adalah pengecualian untuk itu.

“Begitu pentingkah? Kurasa itu bukan hal yang menarik. Aku sama sekali tak tertarik melihat dua orang “pembunuh” saling adu keahlian bagaimana mampu “membunuh.” Balas Hiromitsu.
“Bagaimana kau menyebut mereka sebagai “pembunuh”? Mereka telah ikut berjuang dengan membantu mebuatkan pedang untuk para samurai. Tidak sepertimu yang hanya berdagang setiap hari dan tak pernah peduli akan perjuangan para samurai,” Sindir Akihiro.
“Justru itulah. Mereka membuatkan pedang untuk membunuh bukan? Mereka membantu para samurai untuk membunuh. Bagiku mereka sama saja saja seperti para samurai. Mereka pembunuh,” Balas Hiromitsu.
“Mengapa dari dulu kau tak pernah berubah? Selalu saja menganggap para samurai sebagai pembunuh? Tanpa mereka, kita semua pasti sudah dijajah oleh tentara Mongol,” Jawab Akihiro.
“Dengan adanya mereka juga maka pembunuhan akan sering terjadi. Kau tak lihat bagaimana Muramasa itu? Tak lihat bagaimana dia begitu sombong akan pedang buatannya. Pedangnya itu bahkan sudah dikenal sebagai pedang “haus darah.” Pedang buatannya seolah-olah akan terus mencari korban untuk dibunuh. Kebetulan saja sekarang sedang perang, makanya mereka dianggap sebagai pahlawan. Aku yakin sebenarnya apa yang ada dalam pikiran mereka hanyalah membunuh. Tidakkah kau lihat bagaimana Muramasa menghias pedangnya sedemikian rupa hingga menjadi indah? Aku tak mengerti apa yang ada dalam pikirannya. Mengapa ia senang sekali menghias suatu pedang?” Heran Hiromitsu.
“Mungkin kau benar mengenai Muramasa. Aku juga tak menyukainya. Tapi hal itu tidak berlaku untuk Guru Masamune. Dia orang baik. Apakah karena prasangkamu terhadap Muramasa kau jadi tak bersikap ramah terhadap Masamune setiap kali menemuinya di kuil?” Kata Akihiro meyakinkan Hiromitsu.
“Mungkin juga. Dan, aku rasa pendapatku memang benar. Bagiku setiap Pembuat pedang sama saja. Tak jauh berbeda dengan Muramasa.” Tegas Hiromitsu.
“Bagaimana kalau kau melihat pertunjukan nanti sore? Kalau kau ikut aku akan memborong semua daganganmu. Percayalah!” rayu Akihiro.
“Serius?”
“Ya!”
“Baiklah aku akan melihatnya. Tapi aku tak janji pandanganku terhadap mereka akan dapat berubah nanti.”
“Baiklah.”

Hari pun mulai sore. Hiromitsu menutup tokonya. Dia bersiap-siap untuk berangkat melihat pertunjukan akbar itu. Sebelum berangkat dia mengisi perutnya dengan makanan kesukaannya, genmodoki. Lalu dia pun mengenakan suo yang biasa dia kenakan. Dia lalu menunggu Akihiro karena mereka memang janji untuk datang bersama-sama.

Tak lama kemudian Akihiro datang. Ia mengenakan Suo terbaiknya. Suo berwarna putih. Jarang sekali sebenarnya Suo yang berwarna cerah. Hm…Ternyata tidak hanya warna biru tua saja yang dimilikinya. Hiromitsu sendiri heran dengan sikap Akihiro. “Memangnya kita akan menghadiri suatu festival?” Begitulah tanya Hiromitsu.

Sepanjang perjalanan mereka banyak berbincang-bincang. Bincangan mereka tak jauh-jauh dari Samurai dan Pembuat pedang. Sepanjang perjalanan mereka melihat banyak Samurai. Tampaknya pertunjukan nanti akan dipenuhi penonton.

Akhirnya mereka tiba di tempat pertunjukan. Di hadapan mereka kini telah berdiri dua orang Pembuat pedang yang legendaris. Sungguh pemandangan yang jarang disaksikan. Suasana hening pun terpecahkan dengan suara Muramasa yang lantang.

“Sekarang aku akan tunjukkan pada kalian bagaimana kehebatan dari pedangku, Juuchi Fuyu!”

Muramasa mulai menancapkan pedang buatannya di sungai. Dia memperlihatkan kepada penduduk betapa tajam pedangnya. Pedangnya memotong segala benda yang melaluinya. Pedang itu seperti membelah arus air sungai. Pedang itu memotong ikan dan daun mati di sungai menjadi dua. Bahkan, angin yang berhembus pun sepertinya ikut terbelah.

Semua mata takjub akan pemandangan ini. Mereka tak berhenti memuji kemampuan dari Muramasa. Pedang itu memotong begitu sempurna setiap benda yang dilaluinya. Hiromitsu sendiri tak dapat menutupi rasa kagumnya. Bukan kagum akan hal yang baik tentunya. Hiromitsu hanya kagum akan kemampuan pedang itu memotong. Tak lebih dari itu. Sebaliknya, Hiromitsu semakin yakin apa yang diyakininya benar. “Pedang memang benar-benar senjata yang hanya akan melukai,” gumamnya dalam hati.

“Kau lihat itu , Masamune? Kau lihat akan kehebatan pedangku! Sekarang, giliran kau yang memperlihatkan kemampuan pedangmu!” tantang Muramasa memecah keheningan.

Segera saja Masamune menancapkan pedang buatannya, Yawaraka-Te, ke dalam sungai. Semua mata pun menantikan apa yang akan terjadi. Apakah pedang Masamune akan meampu berbuat lebih hebat? Apakah pedang ini bisa memotong batu yang ada di sekitarnya hingga ia sulit ditancapkan?

Kemudian, semua orang terkejut. Pedang buatan Masamune tak dapat memotong apa pun. Dai tak bisa memotong daun mati dan ikan yang berenang mendekatinya. Daun dan Ikan tersebut hanya mengalir begitu saja di samping pedang tanpa menyentuhnya. “Ada apa ini? Apa yang salah? Apakah Masamune telah kehilangan keahliannya?” kira-kira begitulah pertanyaan orang-orang yang menyaksikannya, termasuk Hiromitsu.

Di tengah keheranan itu salah penduduk maju. Dia menjelaskan apa yang dilihatnya setelah memberi salam kepada dua orang ahli itu, “ Pedang yang pertama memang pedang yang sangat bagus dilihat dari sudut pandang mana pun. Namun, pedang itu haus darah, pedang setan. Dia tidak peduli siapa pun atau apa pun yang akan dipotong. Mungkin dia akan dapat memotong Kupu-kupu seperti halnya memenggal beberapa kepala. Namun, pedang kedua sebenarnya pedang yang lebih baik. Dia tak akan memotong siapa pun atau apa pun yang tidak berdosa!”

Pernyataan itu meresap ke dalam kalbu Hiromitsu. Dalam sekejap Hiromitsu merasa apa yang dipikirkannya selama ini adalah salah. Tidak semua Samurai maupun Pembuat pedang adalah orang jahat. Rasa ini begitu membuncah dalam kalbunya. Dia merasa bersalah karena telah menganggap semua Samurai maupun Pembuat pedang sama. Sam-sama haus akan darah.

Beberapa lama kemudian orang-orang mulai pulang. Tapi tidak dengan Hiromitsu. Hiromitsu malah maju mendekati Masamune dan berkata, “Bisakah aku menjadi murudmu?”

Akhirnya, Hiromitsu dan Akihiro berguru pada Masamune. Mereka berdua pun kelak dikenal sebagai Pembuat pedang yang hebat

Comments

Popular Posts